Selasa, 05 Desember 2017

Hadingmulung, Kearifan Lokal Kerajaan Baranusa, Alor

Hadingmulung, Kearifan Lokal Kerajaan Baranusa, Alor


Potensi wilayah pesisir dan laut menjadi penyangga kerajaan Baranusa yang sekarang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Potensi ini menjadi sumber pangan dan penghidupan masyarakat. Di masa lampau dewan hukum adat dari Suku Sandiata beserta Raja Baranusa sepakat untuk mengelola wilayah perairan Pulau Lapang dan Batang dengan melakukan “Hadingmulung.

Hadingmulung (Hading berarti buka, dan Mulung berarti tutup) merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat setempat berupa sistem pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkala dengan tujuan menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut. Dalam kurun waktu tertentu yang disepakati dewan hukum adat dan Raja, wilayah Hadingmulung akan ditutup. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya laut sama sekali tidak diperbolehkan. Setelah masa “tutup” selesai, sumber daya dapat dimanfaatkan kembali secara bersama. Sumberdaya laut yang disepakati untuk dikelola dengan Hadingmulung antara lain kima, siput, lola, teripang, ikan karang dan ikan pelagis.

Setidaknya dua kali pelaksanaan Hadingmulung pernah tercatat. Yang pertama ketika zaman kerajaan sampai sekitar tahun 1950-an di zaman MPHS ( Majelis Pimpinan Harian Sementara) semasa peralihan di awal kemerdekaan Indonesia. Pada periode ini peraturan yang berlaku adalah peraturan adat. Kemudian pada periode pemerintahan desa antara tahun 1960-an hingga 1990 aturan Hadingmulung kembali dilakukan. Penerapannya diatur oleh peraturan pemerintah desa dengan keterlibatan langsung dari aparat desa (babinsa).
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan ini cukup tinggi sebelum akhir 1970-an. Bagi siapa saja yang melanggar akan mendapatkan sanksi sosial dari Raja. Diantaranya adalah duduk di bawah meja dan kemudian diberikan nasehat oleh Sang Raja ataupun berlari memutari lapangan desa. Hal ini berfungsi untuk memberikan efek jera dan malu. (Baca juga: Bubu di dasar Perairan Alor)

Masyarakat setempat juga percaya bahwa hukum alam akan berlaku bagi siapapun yang melanggar aturan Hadingmulung, yaitu para pelanggar akan dimakan oleh buaya. Selain itu, peraturan Hadingmulung ini juga didukung oleh pemerintah melalui pengamanan secara ketat oleh babinsa pada daerah yang dilakukan Hadingmulung. Bagi siapa saja yang ingin mengambil hasil sumber daya laut, harus mendapatkan surat persetujuan dari pemerintah desa.
                                                          
Hadingmulung Di Ambang Batas

Seiring perkembangan zaman, tradisi Hadingmulung sudah mulai pudar bahkan hilang. “Mulai akhir tahun 1970 atau tepatnya tahun 1977, Hadingmulung ini sudah tidak diterapkan dan dipatuhi lagi oleh masyarakat Kerajaan Baranusa”, tutur Bapak BK Hobol, salah satu sesepuh dewan adat. Salah satu penyebabnya adalah faktor kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat karena adanya pertambahan penduduk.

Melonjaknya penduduk Kerajaan Baranusa pada saat itu salah satunya berasal dari perpindahan para pendatang dari berbagai daerah seperti Makassar, Maluku dan Solor. Masuknya era modernisasi juga menjadi penyebab masyarakat mulai meninggalkan tradisi budaya adat. Pemikiran mereka berubah menjadi lebih praktis dan menuntut serba cepat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Efek negatifnya adalah eksploitasi besar-besaran sumber daya laut seperti kima, teripang, siput dan lola. Dampaknya semakin terasa selang beberapa dasawarsa setelahnya, stok sumber daya laut terus berkurang dan sulit ditemukan.

Pentingnya Kearifan Lokal

WWF-Indonesia melihat kearifan lokal ini sebagai peluang untuk mendorong masyarakat hukum adat Kerajaan Baranusa untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari, berkelanjutan dan bertanggungjawab. Kearifan Hadingmulung perlu kembali hidup. Sejak tahun 2014, WWF melakukan kajian dan mendorong kesepakatan antara dewan hukum adat, pemerintah desa dan masyarakat Kecamatan Pantar Barat dalam membangkitkan kembali pengelolaan sumber daya laut dengan Hadingmulung.

Sasaran dalam kesepakatan yang ingin dicapai adalah timbulnya kesadaran bersama antar elemen masyarakat mengenai ancaman dan kebutuhan terkait sumber daya laut di perairan Kerajaan Baranusa (mencakup perairan Pulau Lapang dan Batang). Ancaman utama datang dari maraknya aktivitas penangkapan sumber daya laut secara ilegal oleh nelayan luar daerah Kabupaten Alor di perairan Pulau Lapang dan Batang. Sedangkan kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi masyarakat.

“Kami merasa wilayah sumber daya laut kami sudah terancam. Aktivitas pencurian hasil laut di wilayah kami sudah makin merajalela dari hari ke hari, terutama dari nelayan luar. Penggunaan potassium oleh mereka turut mempengaruhi penurunan kualitas rumput laut yang dibudidaya oleh masyarakat di Pulau Lapang. Kami sebagai pemerintah dan masyarakat menganggap penting untuk menghidupkan kembali kearifan lokal dan menjaga wilayah sumber daya laut kami. Bukan hanya mengandalkan adanya patroli laut oleh aparat berwenang”, tegas Camat Pantar Barat Mahuri A.P Uba. (Baca Juga: Masyarakat Penjaga Perairan alor)

Upaya membangkitkan kearifan lokal ini mendapat respon positif dari Pemerintah Kabupaten Alor, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Peran masyarakat hukum adat dengan wilayah ulayat adatnya diharapkan dapat terintegrasi dengan baik dalam rencana pengelolaan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar yang ada di Perairan Kabupaten Alor. Selain itu wilayah ulayat adat atau Hadingmulung Kerajaan Baranusa di perairan Pulau Lapang dan Batang yang juga bersinggungan dengan zona inti dan zona perlindungan diharapkan dapat memperkuat pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor. Zona inti merupakan zona larang tangkap yang bertujuan untuk menjaga ketersedian dari stok ikan. Sedangkan zona perlindungan merupakan zona yang dirancang sebagai tempat rehabilitasi alami ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan guna mendukung ketersediaan tempat tinggal bagi populasi ikan karang.

Untuk mendorong pelaksanaan kearifan Hadingmulung, WWF-Indonesia melakukan kajian status wilayah ulayat adat Kerajaan Baranusa di Desa Blangmerang (perairan Pulau Lapang dan Pulau Batang). Kajian ini meliputi kajian ekosistem terumbu karang, sumber daya ikan, serta kajian sosial-ekonomi untuk mengetahui persepsi masyarakat terkait penerapan Hadingmulung. Hasil kajian ini kemudian akan dikembangkan menjadi rekomendasi bagi dewan adat dan pemerintah desa dalam menyusun mekanisme Hadingmulung kedepannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar